Laman

Rabu, 26 Mei 2010

Metodologi Riset Ilmiah Mukjizat Alquran

Ditulis oleh MUSLIM di/pada Februari 19, 2010
Oleh Dr. Abdul Hafizh Al-Haddad
Membuat penelitian dalam bidang mukjizat ilmiah membutuhkan pengalaman dan kepiawaian peneliti untuk mencapai hasil yang akurat. Pengalaman dan kepiawaian ini pada dasarnya bertumpu pada bekal yang cukup dalam bidang ilmu tafsir, serta memiliki fondasi yang kuat dalam memahami ilmu-ilmu alam. Dengan demikian, peneliti menjadi kompeten untuk menangani suatu masalah dalam bidang mukjizat ilmiah. Tetapi, apabila ia ingin menulis sebuah kajian yang bisa dipahami dalam bidang ini dan bisa diterima oleh para ilmuwan, maka ia harus melengkapi diri dengan metodologi riset, dan pada kelanjutnya menguasai dasar-dasar metodologis penulisan penelitian, baik yang bersifat umum atau khusus.
Pertama: Berbagai kaidah dan prinsip yang harus dipegang saat menafsirkan Al Qur’an Al Karim yang disebut dengan metodologi tafsir sebagai berikut:
  1. Wajib mengetahui setiap hal yang terkait dengan nash, baik dari segi tanda baca, korelasi, dan selainnya, seperti sababun-nuzul dan wajhul-qira’ah.
  2. Wajib mengetahui apakah ada nash dari Al Qur’an yang dapat dijadikan sebagai penafsir nash yang tengah kita teliti, karena ayat-ayat Al Qur’an itu saling menafsirkan satu sama lain. Penafsiran ini lebih dikedepankan daripada jenis-jenis penafsiran lainnya.
  3. Wajib meneliti apakah ada hadits yang bisa dijadikan penafsir ayat, karena Rasulullah SAW adalah orang yang paling mengetahui maksud Allah, karena kepada beliau-lah Al Qur’an diturunkan.
  4. Meneliti pendapat yang bersumber dari para sahabat karena mereka lebih mengetahui makna-makna Al Qur’an, dan karena dimungkinkan mereka mendengar informasi khusus dari Rasulullah SAW terkait ayat yang sedang dikaji.
  5. Memerhatikan makna bahasa yang berlaku pada saat turunnya Al Qur’an, bukan makna lain yang dikenal manusia sesudahnya.
  6. Memerhatikan kaidah I’rab dan kaitan-kaitannya yang menjelaskan makna yang sebenarnya dari nash Al Qur’an.
  7. Menerapkan kaidah Balaghah dan Bayan, karena ia membantu untuk mengungkapkan indikasi nash.
  8. Memerhatikan pula alur dan konteks nash, serta situasi dan kondisi yang melingkupi nash.
  9. Sebelum kita menetapkan makna nash, maka harus memastikan bahwa ada kalimat atau isyarat yang membantu untuk menetapkan makna yang kita inginkan, karena klarifikasi adalah tuntutan syari‘ah, terlebih lagi dalam penelitian mukjizat ilmiah Al Qur’an.
  10. Mengamati indikasi lafazh dan kalimat nash; apakah mengandung sesuatu yang menunjukkan makna-makna tambahan seperti batasan terhadap yang umum, pengkhususan terhadap yang mutlak, atau ada unsur majaz di dalamnya? Tujuan dari langkah ini adalah mengetahui pertimbangan prioritas untuk meletakkan nash pada tempat yang sesuai.
  11. Wajib menjadikan makna yang pertama sebagai pegangan. Karena itu, makna yang muhkam lebih kuat daripada makna tekstual; makna tekstual lebih kuat daripada makna yang disimpulkan melalui takwil ketika ada faktor takwil, tetapi harus tetap diperhatikan kriteria-kriteria takwil. Demikian pula, makna eksplisit lebih didahulukan daripada makna implisit. Bahkan di antara sesama makna implisit tersebut, sebagiannya lebih didahulukan daripada sebagian yang lain.
  12. Keharusan mengetahui kondisi terkaitnya dengan kemungkinan makna dengan nash. Pertama, terkait khusus dengan fakta syari‘ah. Kedua, terkait dengan fakta tradisi. Kita mendahulukan aspek syari‘ah di atas aspek tradisi. Dan demikian pula kita mendahulukan aspek tradisi di atas aspek bahasa, kecuali ada indikasi yang valid.
  13. Ada beberapa kalimat yang terdiri dari satu huruf dan ada yang lebih banyak, yang diistilahkan dengan huruf bermakna. Para ahli bahasa telah mengistilahkan makna-maknanya ketika kata tersebut berada dalam satu kalimat, dan itu harus dipertimbangkan.
  14. Ada beberapa kaidah ushuliyyah yang makna-maknanya juga dijadikan pegangan oleh para ahli tafsir. Karena itu, kaidah-kaidah tersebut harus diperhatikan dan diterapkan dalam menafsirkan ayat dan Sunnah. Di antaranya adalah: “Yang berlaku adalah sifat umum lafazh, bukan sebab khusus.” Juga seperti kaidah, “Dugaan yang tidak bersumber dari dalil itu tidak berlaku.”
  15. Tidak menyelami nash-nash mutasyabih, dan masalah-masalah yang disebut ulama dengan istilah sam’iyyat.
  16. Menghindari isra’iliyyat, serta tidak bersandar pada nash-nash yang lemah atau tidak valid ketika diteliti.
  17. Menghindari pernyataan negatif terhadap perkataan ulama salaf meskipun telah jelas kesalahan mereka. Sebaliknya, kita wajib bersikap santun dalam menolak kesalahan itu dengan mengambil inti pelajaran bahwa barangkali ada satu aspek yang membuat pernyataan mereka itu diterima. Betapa banyak orang mencela orang lain, padahal sebenarnya aib itu ada pada dirinya sendiri karena kurang memahami.
  18. Tidak boleh terlepas dari kita keyakinan akan kebenaran janji Allah dan berita-Nya bahwa Dia akan menunjukkan kebenaran ayat-ayatnya di alam semesta, tetapi pada waktu yang telah ditetapkan-Nya. Karena itu, tidak boleh mengedepankan sesuatu yang kita dengar di atas Kalam Allah, karena apa yang kita dengar itu tidak terlepas dari kekeliruan.
  19. Apabila kita tidak menemukan kemantapan setelah melakukan langkah-langkah di atas, dan kita terpaksa untuk menakwili nash, maka kita harus berpegang pada apa digariskan ulama salaf dalam bidang ini. Di antaranya adalah memastikan kebenaran indikasi yang kita simpulkan, dan bahwa kesimpulan ini tidak boleh keluar dari batas moderat dan menyimpang dari suatu hakikat agama. Sebaliknya, kita harus mendekatkan antara berbagai kosa kata nash, begitu juga natara nash dengan nash yang lain, karena tidak ada kesenjangan antara ayat-ayat Al Qur’an selama-lamanya.
  20. Tidak menyeret ayat ke arah makna yang diinginkan peneliti, dengan berpegang pada asumsi-asumsi yang lemah dan memaksakan. Kalamullah seyogianya dihindarkan dari hal-hal semacam ini.
  21. Untuk memahami metodologi penelitian lebih dalam, silakan baca kitab Al-Itqan karya as-Suyuthi (jld. IV, hlm. 200 dst.), kitab at-Tafsir wal-Mufassirun karya Adz-Dzahabi (jld. I, hlm. 265-284), dan kitab-kitab lain di bidang Ulumul Qur’an.
Dan yang kedua adalah memahami prinsip ilmiah yang harus menjadi patokan dalam melaporkan fakta-fakta ilmiah, sebagaimana yang digariskan oleh pakar spesialis di bidang masing-masing.
sumber :eramuslim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar