Laman

Sabtu, 29 Mei 2010

dimataku pilihanku adalah yg terbaik untukku. dia adalah imamku. dialah yg akan memimpin dan membimbingku kelak. hanya ia yg pantas kupandang sbg imam dlm hidupku tanpa harus membandingkannya dg yg lain...karena tak ada yg lebih indah selain mengabdikan sisa hidupku untuk imamku dan anak2ku....sayang...bantu aku tuk bisa menjadi yg terbaik untukmu. ingin rasanya ku bisa menjadi seorg teman,sahabat,kekasih,istri dan juga ibu untukmu....karena bagiku imamku adalah hidupku

Pasangan Terindah

membaca puisi indah pak habibie utk (almarhumah) istri tercinta, semakin menguatkan keyakinanku akan indahnya arti sebuah ketulusan cinta dan kasih sayang....begitu besarnya rasa kasih sayang dan kesabaran yg diberikan almarhumah utk suami tercinta hingga akhir hayatnya. kepergiannya mampu membuat sang suami mencurahkan isi hatinya melalui puisi indah untuknya.....mereka berdua adalah pasangan hidup yg sangat luar biasa menurutku.

semoga ini bisa menjadi cerminan utk kita supaya bisa lebih menghargai, mencintai dan menyayangi pasangan dg setulus hati.....Tuhan, ingin rasanya ku menjadi seorang istri sepertinya....istri dan ibu yg bisa membawa ketenangan dan kedamaian utk imam dan keluarga.....subhannallah....indahnyaaa........

PUISI TERAKHIR UNTUK ISTRI TERCINTA



Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu.

Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya,

dan kematian adalah sesuatu yang pasti,

dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.

Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat,

adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.

Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang.

Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang,

pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada,

aku bukan hendak megeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.
Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang,

tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik.

mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.

Selamat jalan,

Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya,
kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.

selamat jalan sayang,
cahaya mataku, penyejuk jiwaku,
selamat jalan,
calon bidadari surgaku ....

BJ.HABIBIE

Kamis, 27 Mei 2010


Harun 
Yahya

KEMURAHAN ALLAH TERHADAP PEREMPUAN


Allah telah menjelaskan kepada kita bahwa Dia telah menurunkan al-Qur'an kepada manusia sebagai "Peringatan"(QS. Al-Muminun, 71), dan Allah telah menjanjikan kesejahteraan kepada setiap hamba-hamba-Nya yang mengamalkan nilai-nilai moral di dalam al-Qur’an dan mengikuti jalan-Nya yang lurus. Satu-satunya cara bagi para perempuan untuk melepaskan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi di dalam kelompok masyarakat yang tidak mempercayai adanya tuhan dan kehormatan yang selayaknya mereka dapatkan hanya dapat ditemukan di dalam al-Qur’an.

Di dalam banyak ayat dalam al-Qur’an, Allah membela para perempuan dan hak-hak mereka, menghapus pendapat-pendapat yang salah mengeni perempuan yang tumbuh di dalam kelompok masyarakat yang tidak mempercayai adanya Tuhan, dan Allah memberi mereka kedudukan yang terhormat di dalam masyarakat. Al-Qur'an menjelaskan kepada kita bahwa Allah menilai kemuliaan hamba-Nya berdasarkan ketakwaannya kepada Allah, kadar keimanannya, kulitas moral yang dimilikinya, keikhlasan dan kesalehannya, bukan berdasarkan jenis kelamin atau gender, apakah dia seorang laki-laki atau perempuan. Semua itu merupakan bukti kemurahan Allah yang tak tertandingi terhadap perempuan.

Wahi manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang palin bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (QS Al Hujurat, 13).

Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah Menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingat. (QS Al A’raf, 26)


Pada ayat lain, Allah berfirman “Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah Mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (Surat Al Baqarah, 197), dan Allah menjelaskan bahwa kulitas terbaik hamba-Nya ditentukan oleh ketakwaannya. Oleh karena itu, kadar ketakwaan yang memberikan nilai dasar kepada manusia dan keunggulannya di mata Allah. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, akan dilipatgandakan (balasannya) bagi mereka; dan mereka akan mendapat pahala yang mulia.” (QS. Al Hadid, 18). Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa baik laki-laki maupun perempuan yang taat kepada moralitas al- Qur’an akan mendapatkan pahala yang mulia.



Di dalam al-Qur’an, Allah menjelaskan kepada kita bagaimana melindungi dan memperlakukan kaum perempuan dan memberi mereka penghormatan yang layak mereka dapatkan. Semua ketentuan-ketentuan tersebut adalah demi kebaikan perempuan, sehingga mereka tidak dilecehkan maupun ditindas.

Di dalam al-Qur’an, Allah telah memberikan petunjuk kepada umat manusia jalan yang lurus dan Allah telah menghapuskan kebodohan dan kepalsuan yang sebelumnya telah mengakar. Berdasarkan moralitas al Qur'an, hal yang terpenting bagi bagi umat manusia adalah pendekatan diri kepada Allah dengan keimanan yang mendalam, rasa takut dan penghormatan kepada Allah. Pendekatan berdasarkan jenis kelamin sama sekali tidak sesuai. Mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya berarti mengikuti ajaran-ajaran moralitas al-Qur’an sebaik mungkin. Inilah orang-orang yang memiliki nilai di mata Allah. Al Quran menjelaskan kualitas dasar keimanan yang harus dimiliki baik oleh laki-laki maupun perempuan.

Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan Diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. (QS. At-Tawba, 71).

Sebagaimana yang telah Allah jelaskan kepada kita, perempuan yang beriman dan laki-laki yang beriman bertanggung jawab untuk mentaati dan mengikuti ajaran-ajaran moral di dalam al-Qur’an, mengingatkan orang lain untuk berbuat baik, menahan diri dari perbuatan maksiat, dan mengamalkan apa yang telah diatur di dalam al-Qur'an. Allah berjanji untuk memberikan kepada semua hamba-Nya, tanpa melihat jenis kelamin,"furqan (kemampuan membedakan antara yang hak dan bathil)" (QS. Al-Anfal, 29).


Sebagai imbalan atas iman dan ketulusan mereka, Allah akan membimbing mereka, memungkinkan mereka untuk membuat keputusan yang tepat dan bertindak dengan benar, dan memberi mereka kecerdasan, pemahaman, dan persepsi. Oleh karena itu, kecerdasan tidak tergantung pada jenis kelamin seseorang, namun kecerdasan dianugerahkan kepada mereka yang takut dan beriman kepada Allah serta melakukan tindakan yang terbaik untuk mendapat keridhaan Allah.

Setiap laki-laki maupun perempuan yang bertindak sesuai dengan kebijaksanaan yang berasal dari keyakinan mampu mengungguli orang lain dan mencapai keberhasilan dalam setiap bidang kehidupan. Hai ini tergantung sepenuhnya pada kehendak seseorang, semangat, dan tekad. Sesuai dengan ajaran moralitas Islam, orang beriman tidak pernah menganggap dirinya sempurna dalam segala hal, melainkan mereka selalu berusaha untuk menjadi lebih memahami, lebih mampu, lebih bertanggung jawab, dan lebih maju dalam pribadi mereka, dan lebih berhasil dalam membentuk sebuah kehidupan berdasarkan moralitas yang baik. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk mengembangkan diri di setiap bidang. Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk berdoa kepada-Nya sehingga mereka dapat menjadi contoh pribadi yang baik kepada orang-orang di sekitar mereka:

Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqan : 74)

Seorang wanita salehah yang melakukan hal terbaik untuk menjadi teladan, memiliki kejujuran moral, dan kemauan yang kuat, Insya Allah, mampu mencapai kedudukan yang tinggi di dalam masyarakatnya. Dia melaksanakan tanggung jawabnya sebaik mungkin, membuat keputusan yang paling tepat, menemukan solusi terbaik untuk berbagai masalah, dan menetapkan metode-metode terbaik untuk diterapkan

Islam mengajarkan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan. Rahmat Allah telah menghapus segala perbedaan gender yang timbul dari kebodohan dan pemikiran-pemikiran yang salah tentang gender, dan rahmat Allah memberi nilai dan penghormata kepada kaum perempuan. Semua ini tergantung pada keyakinan dari orang-orang yang beriman kepada Allah, karakter moral yang dimiliki, dan tanggung jawab yang mereka terima. Oleh karena itu, tidak dikenal adanya bentuk perjuangan untuk menggapai kesetaraan dengan laki-laki bagi perempuan yang mengamalkan nilai-nilai moral al-Qur'an, melainkan di dalam al-Qur’an terdapat nilai-nilai kebaikan yang harus dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman demi mendapatkan pertolongan-Nya. Dengan memahami tujuan tersebut, mereka berusaha keras untuk menjadi hamba yang paling dekat dengan Allah, hamba yang paling dicintai dan yang paling disukai. Kebaikan-kebaikan di dalam al-Qur’an tersebut sepenuhnya merupakan sebuah keberkahan. Allah menjelaskan kepada kita bahwa salah satu ciri khas utama orang yang beriman adalah upaya yang mereka lakukan untuk menggapai tujuan ini :

mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya. (QS. Al-Muminun, 61)

Kemudian Kitab itu Kami Wariskan kepada orang-orang yang Kami Pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar. (Surah Fatir Surah, 32)

May 22, 2010



Harun 
Yahya

JIKA ORANG BERKATA “SAYA TELAH MELAKUKAN SESUATU,” ITU ADALAH SYIRIK, YANG SEMESTINYA IA KATAKAN ADALAH “ALLAH TELAH MELAKUKAN HAL ITU MELALUI SAYA”

Adnan Oktar: SYIRIK adalah menyekutukan Allah. Tetapi ini dapat menjelma dalam bentuk-bentuk yang tidak disadari. Sebagai contoh, jika seseorang berkata "Saya melakukan sesuatu," itu adalah syirik. Apa yang harus ia katakan adalah "Allah melakukan hal itu melalui saya." Atau jika kita menerima bantuan dari seseorang, kita semestinya mengatakan bahwa Allah mengirimnya. Dengan kata lain, seseorang harus selalu menyadari kuasa Allah atas segala sesuatu. Sebab seseorang melihat gambar di dalam otak, dan jelas bahwa Allah menciptakan itu, bukan? Allah menganugerahkan warna, suara, gambar, perasaan lapar dan semua informasi tentang semua itu. Dan karena Allah melakukan segala sesuatu, segala sesuatu harus dijelaskan dengan mengaitkan-Nya. Orang harus mengatakan Allah menciptakan dan melakukan segala sesuatu. Yang selainnya adalah syirik. Tapi ini tidak rumit, ini benar-benar mudah sekali dipahami. Sebagai contoh, saya sedang berbicara sekarang. Allah sedang menjadikan saya berbicara. Anda sedang mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan Allah sedang menjadikan Anda menanyakan [pertanyan-pertanyaan] itu. Seseorang yang telah memahami hal ini selanjutkan secara alamiah akan selalu bertindak secara tepat. Dengan kata lain, ia akan melakukannya dengan sangat mudah. Sangatlah penting membuat penegasan itu di awal, dan pemahaman tepat sangatlah penting.

Rabu, 26 Mei 2010

Kebencian itu Awal dari Hidayah

Ditulis oleh MUSLIM di/pada Februari 18, 2010
Oleh: M. Syamsi Ali
Rabu, 10 Pebruari, kota New York sedang dilanda badai salju. Sejak tengah malam lalu, salju turun tiada henti membuat jalanan menjadi sepi dan licin. Kebanyakan warga memilih tinggal di rumah, berbagai institusi ditutup sementara, termasuk sekolah-sekolah dan bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Aku sendiri cukup malas untuk meninggalkan rumah pagi. Tapi entah apa, rasanya aku tetap terpanggil untuk melangkahkan kaki menuju kantor PTRI, dan selanjutnya ke Islamic Center. Ternyata kantor PTRI juga pagi ini hanya dibuka hingga pukul 12 siang.
Aku segera menuju Islamic Cultural Center of New York dengan tujuan sekedar shalat dzuhur dan asar sekalian. Lazimnya, ketika ada badai salju atau hujan lebat, jama’ah meminta untuk menjama’ shalat. Setiba di Islamic Center aku segera menuju ruang shalat, selain untuk melihat apakah pemanas ruangan telah dinyalakan atau belum, juga untuk shalat sunnah.
Tiba-tiba saja Sekretaris memanggil, “Some one is waiting for you!”.  “Let me do my sunnah and will be there!,” jawabku.
Setelah shalat sunnah, segera aku menuju ke ruang perkantoran Islamic Center. Di ruang tamu sudah ada seseorang yang relatif berumur, tapi nampak elegan dalam berpakaian. “Hi, good morning!,” sapaku. “Good morning!,” jawabnya dengan sangat sopan dan ramah. “Waiting for me?,” tanyaku sambil menjabat tangan. “Yes, and I am sorry to bother you at this early time,” katanya sambil tersenyum.
Aku mengajak pria berkulit putih tersebut ke ruangan kantor aku. Dengan berbasa-basi aku katakan “Wah mudah-mudahan Anda diberikan pahala atas perjuangan mengunjungi Islamic Center dalam suasana cuaca seperti ini,” kataku. “Oh not at all!. We used to this kind of weather,” jawabnya.
“So, what I can do for you this morning,” tanyaku memulai pembicaraan. Tanpa aku sadari orang tersebut masih berdiri di depan pintu. Barangkali dia tidak ingin lancang duduk tanpa dipersilahkan. Memang dia nampak sopan, tapi dari kata-katanya dapat dipahami bahwa dia cukup terdidik.
“Please do have your sit!,” kataku. “Thanks sir!,” jawabnya singkat.
Setelah duduk Aku ulangi lagi, pertanyaan sebelumnya “what I can do for you this morning?.” Sambil membalik posisi duduknya, dia melihat ke arahku dengan sedikit serius, tapi tetap dengan senyumnya. “I am here for….,’ seolah terhenti..”for some clarifications!,” jawabnya. Intinya, ia mengaku telah banyak membaca, mengamati dan belajar agama.  “Harus jujur Aku tahu tentang hal itu banyak,” jelasnya.
“That’s great!,” selaku. Dia mengaku, dari waktu ke waktu, pertanyaan tentang agamanya terus bertambah. Sementara perasaan terhadap Islam justru makin tumbuh.
Pria itu, merubah posisi duduknya dan bercerita. “Aku dulu sangat marah. Aku benar-benar membenci agama ini!, jelasnya. “Aku merasa agama dan para pengikutnya telah menyerbu negara saya, “ tambahnya dengan sangat serius. “Jadi, apa yang terjadi?, pancingku menyambung ceritanya.
Singkatnya, aku menuliskan beberapa catatan ceritanya, bagaimana kebenciannya kepada agama Islam menjadi awal ‘kehausan’ untuk mencari tahu. Suatu hari dia membeli makanan di pinggir jalan (Halal Food) di kota Manhattan. Sekedar untuk  diketahui, mayoritas mereka yang jual makanan di pinggir jalan di kota New York adalah Muslim. Lalu menurutnya, di gerobak penjual makanan itu tertulis “Laa ilaaha illa Allah-Muhammad Rasul Allah” dalam bahasa Arab. Kebenciannya yang amat sangat kepada Islam, membuatnya tidak bisa menahan diri untuk mengata-ngatai penjual makanan itu dengan kalimat,  “don’t turn people away from buying your food with that ….(bad word)’, katanya sinis!.
Tapi menurutnya lagi, sang penjual itu tidak menjawab dan hanya tersenyum, bahkan merespon dengan “Thank you for coming my friend!.”
Singkatnya, menurut dia lagi, sikap ramah si penjual makanan itu selalu teringat dalam pikirannya. Bahkan sikap itu menjadikannya merasa bersalah, tapi pantang untuk datang meminta maaf. Ketidak inginannya meminta maaf itu, katanya sekali lagi, karena kebenciannya kepada agama ini (Islam, red). “Itu benar-benar membuat saya marah kepada diri saya, namun di saat yang sama, saya benar-benar ingin tahu,” sambungnya.
“Awalnya, aku hanya googling beberapa informasi mengenai agama. Kemudian mendengarkan beberapa ceramah di Youtube (terutama ceramah Hamzah Yusuf), “ ujarnya. Setelah itu kemudian membeli beberapa buku karangan non Muslim, termasuk sejarah Rasul oleh Karen Amstrong, Syari’ah oleh John Esposito, dll.
“Semakin saya pelajari, semakin aku merasa menjadi curiga dan bingung,” akunya.  “Tapi apakah Anda pernah berpikir sebelumnya, mengapa begitu?,” ujarku. “Saya tidak tahu, saya kira faktor media, katanya. Yang jelas,  setiap kali dia melihat pemboman, pembunuhan, pengrusakan, dan bahkan beberapa aksi film, ada-ada saja Muslim yang terkait. “Saya benar-benar tidak tahu dan bingung, apa yang sedang dipraktikkan orang-orang Islam ini?.”
Dia kembali berbicara panjang, seolah menyampaikan ceramah kepadaku tentang “jurang besar” antara ilmu tentang Islam yang dia pahami dan berbagai perangai yang dia lihat dari beberapa Muslim selama ini. Di satu sisi, dia kagum dengan sikap penjual makanan tadi. Tapi di satu sisi, dia marah dengan sikap beberapa orang Islam yang justru melakukan  apa yang disebutnya sebagai “kejahatan atas nama Islam.” “Dan demikian, aku pada pihak mana? Apakah suatu hari nanti aku akan menjadi seorang Muslim?, tanyanya pada dirinya sendiri.
Setelah selesai, aku kemudian memulai mengambil kendali. “Pertama, saya ucapkan selamat!,” kataku singkat. Tapi justu nampak bingung dengan ucapanku itu.
Segera aku sambung ‘You have been a real American!’. Dia tersenyum tapi masih belum paham.
“Kemarahan Anda dapat dimengerti,” kataku. Pertama-tama, karena Anda tidak tahu dan akan mencari serta bertanya tetang itu.  Kedua, faktor media dan obat untuk itu adalah memperjelas. Dan saya pikir Anda melakukan yang kedua, “ tambahku
Aku mengajaknya mendiskusikan berbagai hal. Mulai dari sejarah peperangan, terorisme, pembunuhan, pengrusakan, dari dulu hingga sekarang. Dan sebaliknya, bagaimana Islam telah memainkan peranan besar dalam membangun peradaban manusia.
“Sepanjang sejarah manusia, apa yang Anda lihat sekarang ini tidaklah terlalu mengejutkan dan hal baru. Berapa banyak nyawa telah diambil, properti dihancurkan dan rumah rusak?,” tanyaku. “Dan dari awal Nabi Muhammad mengajarkan agama ini pada abad ke-7 di Arabia, hingga hari ini, berapa banyak perang dan pembunuhan yang telah melibatkan Muslim sebagai pelaku?,” pancingku lagi.
Dia nampak hanya geleng-geleng kepala dengan contoh-contoh yang aku berikan. Dari Hitler, Stalin, Perang Dunia I dan II, Hiroshima dan Nagasaki , dst. Berapa diantara mereka yang terbunuh, dan siapa yang melakukan? Peperangan di Iraq, berapa yang terbunuh ketika jet-jet Amerika mendrop boms di perkampungan- perkampungan? Siapa mayoritas tentara Amerika?
Kemudian, pernahkan dilakukan studi secara dekat, untuk mengetahui apakah benar bahwa pemboman, pembunuhan, pengrusakan yang dilakukan oleh beberapa Muslim selama ini, walau atas nama Islam, memang dibenarkan oleh Islam? Dan benarkah bahwa memang motifnya karena memperjuangkan Islam dan Muslim, atau karena memang Islam dan Muslim adalah jembatan menuju kepada ‘interest’ tertentu?, ceritaku panjang lebar.
Tak terasa, waktu adzan dhuhur telah tiba. “Sorry, that is what we call adzan  or the call to pray,” jelasku. Aku diam sejenak, dia juga nampak diam mendengarkan adzan dari Sheikh Farahat, muadzin yang baru diterima sebagai pegawai di Islamic Center. Suara tammatan Al-Azhar ini memang sangat indah.
Setelah adzan, aku kembali menyambung pembicaraan. Saat ini kita membicarakan berbagai ketidakadilan yang terjadi di berbagai belahan dunia, dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Secara ekonomi hanya segelintir yang menikmati kue alam, secara politik ada pemaksaan sistemik kepada negara lain, dst.
“Dengan semua ini, dan tidak ada cara untuk mengatakan bahwa pembunuhan, terutama ketika kita sampai pada kehidupan dan warga sipil tak berdosa, adalah dibenarkan atas nama berjuang untuk keadilan,” lanjutku.
Tapi karena waktu sangat singkat, aku bertanya “Apa pendapatmu? Apakah ada hal yang membuat Anda berkeberatan?, ” pancingku. Dia nampak diam, tapi tersenyum dan mencoba berbicara.
“You are right!,” katanya singkat. “Aku sudah tidak adil untuk diri saya sendiri! Asosiasi saya terhadap Islam dan perilaku sebagian kaum Muslim benar-benar tidak adil.”
“You got the point, sir!”, jawabku singkat. “Sekarang, saya meminta izin sesaat untuk shalat.” Tiba-tiba saja dia melihatku dengan sedikit serius. Kali ini tanpa senyum dan berkata “Apa yang harus aku lakukan untuk menjadi seorang Muslim?” tanyanya. “Are you serious?” tanyaku. “Yes!” , jawabnya singkat. “Follow me!”, ajakku.
Aku ajak dia ke ruang wudhu, mengajarinya berwudhu, lalu ke ruang shalat. Sambil menunggu waktu iqamah, aku menyampaikan kepadanya. “Apa yang akan saya lakukan adalah membawa Anda untuk menyatakan iman Anda yang baru dengan apa yang kita sebut syahadat. Dan itu adalah untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan yang layak untuk disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya,” jelasku seraya mengingatkan apa yang pernah dia lihat dahulu di gerobak penjual makanan itu.
Sebelum iqamah dimulai aku ajak, Peter Scott, begitu nama pria tersebut, ke depan jama’ah dan menuntunnya mengucapkan “Asy-hadu anlaa ilaaha illa Allah wa asy-hadu anna Muhammadan Rasul Allah,” seraya diikuti gema takbir sekitar 200-an jama’ah shalat Dhuhr hari ini.
“Peter, Anda seorang Muslim sekarang, seperti orang lain di sini hari ini. Tidak ada diantara Anda yang kurang. Sebenarnya, Anda lebih baik dari kami karena Anda dipilih untuk menjadi, bukan hanya dilahirkan ke dalamnya dan mengikutinya,” jelasku sambil meminta untuk mengikuti gerakan-gerakan shalat sebisanya, tapi dengan konsentrasi.
Allahu Akbar! Semoga Peter selalu dijaga dan dijadikan pejuang di jalanNya! [New York, 10 Pebruari 2010/www.hidayatullah.com]

Metodologi Riset Ilmiah Mukjizat Alquran

Ditulis oleh MUSLIM di/pada Februari 19, 2010
Oleh Dr. Abdul Hafizh Al-Haddad
Membuat penelitian dalam bidang mukjizat ilmiah membutuhkan pengalaman dan kepiawaian peneliti untuk mencapai hasil yang akurat. Pengalaman dan kepiawaian ini pada dasarnya bertumpu pada bekal yang cukup dalam bidang ilmu tafsir, serta memiliki fondasi yang kuat dalam memahami ilmu-ilmu alam. Dengan demikian, peneliti menjadi kompeten untuk menangani suatu masalah dalam bidang mukjizat ilmiah. Tetapi, apabila ia ingin menulis sebuah kajian yang bisa dipahami dalam bidang ini dan bisa diterima oleh para ilmuwan, maka ia harus melengkapi diri dengan metodologi riset, dan pada kelanjutnya menguasai dasar-dasar metodologis penulisan penelitian, baik yang bersifat umum atau khusus.
Pertama: Berbagai kaidah dan prinsip yang harus dipegang saat menafsirkan Al Qur’an Al Karim yang disebut dengan metodologi tafsir sebagai berikut:
  1. Wajib mengetahui setiap hal yang terkait dengan nash, baik dari segi tanda baca, korelasi, dan selainnya, seperti sababun-nuzul dan wajhul-qira’ah.
  2. Wajib mengetahui apakah ada nash dari Al Qur’an yang dapat dijadikan sebagai penafsir nash yang tengah kita teliti, karena ayat-ayat Al Qur’an itu saling menafsirkan satu sama lain. Penafsiran ini lebih dikedepankan daripada jenis-jenis penafsiran lainnya.
  3. Wajib meneliti apakah ada hadits yang bisa dijadikan penafsir ayat, karena Rasulullah SAW adalah orang yang paling mengetahui maksud Allah, karena kepada beliau-lah Al Qur’an diturunkan.
  4. Meneliti pendapat yang bersumber dari para sahabat karena mereka lebih mengetahui makna-makna Al Qur’an, dan karena dimungkinkan mereka mendengar informasi khusus dari Rasulullah SAW terkait ayat yang sedang dikaji.
  5. Memerhatikan makna bahasa yang berlaku pada saat turunnya Al Qur’an, bukan makna lain yang dikenal manusia sesudahnya.
  6. Memerhatikan kaidah I’rab dan kaitan-kaitannya yang menjelaskan makna yang sebenarnya dari nash Al Qur’an.
  7. Menerapkan kaidah Balaghah dan Bayan, karena ia membantu untuk mengungkapkan indikasi nash.
  8. Memerhatikan pula alur dan konteks nash, serta situasi dan kondisi yang melingkupi nash.
  9. Sebelum kita menetapkan makna nash, maka harus memastikan bahwa ada kalimat atau isyarat yang membantu untuk menetapkan makna yang kita inginkan, karena klarifikasi adalah tuntutan syari‘ah, terlebih lagi dalam penelitian mukjizat ilmiah Al Qur’an.
  10. Mengamati indikasi lafazh dan kalimat nash; apakah mengandung sesuatu yang menunjukkan makna-makna tambahan seperti batasan terhadap yang umum, pengkhususan terhadap yang mutlak, atau ada unsur majaz di dalamnya? Tujuan dari langkah ini adalah mengetahui pertimbangan prioritas untuk meletakkan nash pada tempat yang sesuai.
  11. Wajib menjadikan makna yang pertama sebagai pegangan. Karena itu, makna yang muhkam lebih kuat daripada makna tekstual; makna tekstual lebih kuat daripada makna yang disimpulkan melalui takwil ketika ada faktor takwil, tetapi harus tetap diperhatikan kriteria-kriteria takwil. Demikian pula, makna eksplisit lebih didahulukan daripada makna implisit. Bahkan di antara sesama makna implisit tersebut, sebagiannya lebih didahulukan daripada sebagian yang lain.
  12. Keharusan mengetahui kondisi terkaitnya dengan kemungkinan makna dengan nash. Pertama, terkait khusus dengan fakta syari‘ah. Kedua, terkait dengan fakta tradisi. Kita mendahulukan aspek syari‘ah di atas aspek tradisi. Dan demikian pula kita mendahulukan aspek tradisi di atas aspek bahasa, kecuali ada indikasi yang valid.
  13. Ada beberapa kalimat yang terdiri dari satu huruf dan ada yang lebih banyak, yang diistilahkan dengan huruf bermakna. Para ahli bahasa telah mengistilahkan makna-maknanya ketika kata tersebut berada dalam satu kalimat, dan itu harus dipertimbangkan.
  14. Ada beberapa kaidah ushuliyyah yang makna-maknanya juga dijadikan pegangan oleh para ahli tafsir. Karena itu, kaidah-kaidah tersebut harus diperhatikan dan diterapkan dalam menafsirkan ayat dan Sunnah. Di antaranya adalah: “Yang berlaku adalah sifat umum lafazh, bukan sebab khusus.” Juga seperti kaidah, “Dugaan yang tidak bersumber dari dalil itu tidak berlaku.”
  15. Tidak menyelami nash-nash mutasyabih, dan masalah-masalah yang disebut ulama dengan istilah sam’iyyat.
  16. Menghindari isra’iliyyat, serta tidak bersandar pada nash-nash yang lemah atau tidak valid ketika diteliti.
  17. Menghindari pernyataan negatif terhadap perkataan ulama salaf meskipun telah jelas kesalahan mereka. Sebaliknya, kita wajib bersikap santun dalam menolak kesalahan itu dengan mengambil inti pelajaran bahwa barangkali ada satu aspek yang membuat pernyataan mereka itu diterima. Betapa banyak orang mencela orang lain, padahal sebenarnya aib itu ada pada dirinya sendiri karena kurang memahami.
  18. Tidak boleh terlepas dari kita keyakinan akan kebenaran janji Allah dan berita-Nya bahwa Dia akan menunjukkan kebenaran ayat-ayatnya di alam semesta, tetapi pada waktu yang telah ditetapkan-Nya. Karena itu, tidak boleh mengedepankan sesuatu yang kita dengar di atas Kalam Allah, karena apa yang kita dengar itu tidak terlepas dari kekeliruan.
  19. Apabila kita tidak menemukan kemantapan setelah melakukan langkah-langkah di atas, dan kita terpaksa untuk menakwili nash, maka kita harus berpegang pada apa digariskan ulama salaf dalam bidang ini. Di antaranya adalah memastikan kebenaran indikasi yang kita simpulkan, dan bahwa kesimpulan ini tidak boleh keluar dari batas moderat dan menyimpang dari suatu hakikat agama. Sebaliknya, kita harus mendekatkan antara berbagai kosa kata nash, begitu juga natara nash dengan nash yang lain, karena tidak ada kesenjangan antara ayat-ayat Al Qur’an selama-lamanya.
  20. Tidak menyeret ayat ke arah makna yang diinginkan peneliti, dengan berpegang pada asumsi-asumsi yang lemah dan memaksakan. Kalamullah seyogianya dihindarkan dari hal-hal semacam ini.
  21. Untuk memahami metodologi penelitian lebih dalam, silakan baca kitab Al-Itqan karya as-Suyuthi (jld. IV, hlm. 200 dst.), kitab at-Tafsir wal-Mufassirun karya Adz-Dzahabi (jld. I, hlm. 265-284), dan kitab-kitab lain di bidang Ulumul Qur’an.
Dan yang kedua adalah memahami prinsip ilmiah yang harus menjadi patokan dalam melaporkan fakta-fakta ilmiah, sebagaimana yang digariskan oleh pakar spesialis di bidang masing-masing.
sumber :eramuslim

Ajaran Rasulullah tentang Manajemen Emosi

Ajaran Rasulullah tentang Manajemen Emosi

Ditulis oleh MUSLIM di/pada Mei 23, 2010
Oleh Hj Lily Musfirah Nurlaily
Dalam kompleksitas kehidupan, manusia sering kali dihadapkan pada suatu masalah yang memaksanya untuk memilih, apakah menghadapinya dengan penuh ketenangan atau menyikapinya dengan amarah dan penuh emosi.
Secara etimologis, kata ‘emosi’ adalah terjemahan dari bahasa Arab, al-ghadlab. Dalam Alquran, kata al-ghadlab, dengan perubahan bentuk kata, jumlahnya tak kurang dari 24 kali. Dari sekian banyak ayat tersebut, kata al-ghadlab lebih banyak dikaitkan kepada Allah sebagai Sang Khalik. Hanya sedikit ayat yang mengaitkan al-ghadlab dengan manusia. Itu pun bukan terhadap manusia biasa, tetapi terhadap Nabi Musa AS. “Dan, tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya, dengan marah dan sedih hati, ia pun berkata, ‘Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku.’” (QS al-A’raf [7]: 150).

Dalam ayat itu, disebutkan pula bahwa Nabi Musa sempat menarik rambut saudaranya sendiri, Nabi Harun, karena saking marah dan emosinya. Tentang sikap marahnya Nabi Musa, juga dibadikan dalam surah Taha [20]: 86 dan tentang redanya emosi tersebut juga diabadikan dalam surah al-A’raf [7]: 154.

Diceritakan dalam sebuah hadis bahwa seorang sahabat datang tergopoh-gopoh menghadap Nabi SAW untuk meminta nasihat. Nabi menjawab, “La taghdlab”, hindari sikap marah (emosi). Nabi SAW mengulangi nasihatnya sebanyak tiga kali.
Hadis ini cukup menjadi bukti bahwa manusia sering kali terjebak dalam keadaan emosi atau marah yang berkepanjangan hingga tidak ada peluang bagi orang lain untuk meminta maaf. Karena itu, wajar bila Nabi SAW mengulangi nasihatnya sebanyak tiga kali.
Bagaimana menguasai marah atau me-manage emosi? Nabi SAW pernah memberikan petunjuk. “Jika kamu marah dalam keadaan berdiri, duduklah. Jika kamu masih marah, padahal sudah dalam keadaan duduk, berbaringlah. Jika kamu masih marah, padahal sudah dalam keadaan berbaring, segera bangkit dan ambil air wudu untuk bersuci dan lakukan shalat sunah dua rakaat.”
Betapa bijaknya nasihat Rasul SAW di atas. Sebab, ketika manusia sedang marah, ia mengalami dua hal. Pertama, ketegangan syaraf, terutama syaraf otak. Kedua, dirinya sedang bergelut dengan sebuah kekuatan hawa nafsu yang mahadahsyat. Dalam pandangan agama, hawa nafsu itu dipersonifikasikan dengan kekuatan setan.
Maka, ajaran Nabi SAW tentang perubahan gerakan fisik dari berdiri kepada duduk dan dari duduk kepada berbaring bertujuan untuk melenturkan dan meredakan (relaksasi) ketegangan syaraf otak dan syaraf-syaraf lainnya. Jika gerakan fisik juga tidak mampu meredakan emosi, Nabi SAW berpesan agar segera berwudu dan mendirikan shalat dua rakaat. Tujuannya, segera berlindung kepada kekuatan Allah untuk mengusir kekuatan setan yang terbungkus dalam bentuk sikap marah dan emosi. Wa Allahu A’lam.[republika.co.id]

Selasa, 25 Mei 2010

jujur vs bohong......= bodong


menutupi sesuatu demi sesuatu apakah itu kejujuran?? pasti TIDAK!! 

mengatakan sebenarnya karena tdk ingin ada kebohongan...apa itu kejujuran??.....YA tp bisa jg TIDAK

              YA      : bilamana menyikapinya dg landasan jujur adalah lebih baik dr apapun

              TIDAK : bila akhirnya kebenaran itu dianggap satu hal negatif yg terus menghantui dan berbalik arah sampai akhirnya menghancurkan sgalanya....

lantas kejujuran seperti apa yg seharusnya di bangun?? 

manakah yg lebih baik diantaranya....?? 

apa jujur dan kebohongan adalah satu komposisi yg tak terpisahkan?? 

lantas komposisi yg bagaimana yg bisa menjaga satu kelanggengan......

bohong + jujur  = langgeng....???
..?..%   +  ..?..% = ...???... 

jujur vs bohong = bodooooong......











Senin, 24 Mei 2010

indah.......

dalam hitungan detik kau sanggup lenakan semua 

dasyatnya mampu luluhkan hati gelapkan mata

mengapa kau harus ada bila tak mampu bertahan...??

wahai kata.....dimanakah kau berada...??

sanggupkah kau ungkap rasa yg tlah terhempas....

andai waktu bisa diputar kembali

tak ku biarkan ia sampai disini......

indah.....

sanggupkah kau hadirkannya kembali....?? 

mungkinkah kan terulang lagi...??

jangan ambil indahku yg dulu.....

jangan biarkan waktu luruhkan hatiku.....






mukjizat Al Quran_part 2

mukjizat Al Quran_part 1